Cerita Yogi Dan Latifa

Cerita Yogi Dan Latifa.

Spesial Sinopsis : Hitam Diatas Putih

Panitera : Bunga Rosania Indah

1 wulan nan lalu…

“Yogi, ia harus menikah dengan unggulan pilihan mama!”

“Aku bukan cak hendak Ma, aku sudah punya pacar!” Tolak Yogi.

“Ah pacar-pacarmu selama ini nggak ada yang jelas, berganti-ganti! papa sama mama pening.” Sang mama geleng kepala melihat watak si putra.

“Lalu mama papa ingin aku menikahi kelihatannya?” Tanya Yogi berang.

“Beliau anak almarhum sahabat papa,” Papa Yogi ikut sanggang bicara.

“Lalu?” Yogi mulai malas melawan.

“Papa berhutang khuluk lega almarhum imbangan papa itu, demi menyelamatkan boke dia meninggal, sementara itu dia punya seorang anak asuh amoi yang masih kecil ketika itu. Dalam diri papa berjanji momen kalian besar nanti, kalian akan kunikahkan,” ucap sang papa nan saat ini tergolek di ranjang rumah guncangan.

“Terpangkal Yogi nggak cak hendak, Pa!” Bentak Yogi. Mama Yogi pun menangis mematamatai putranya yang mendorong perjodohan itu.

“Yogi! Sejauh ini, apapun permintaanmu papa turuti, siapa kehidupan kedang enggak akan lama kembali, miskin benar hanya mohon satu, nikahilah Latifa. Kasian kini dia yatim piatu, ibunya baru saja meninggal 3 bulan nan sangat. Latifa mungkin momongan desa enggak seperti teman-teman wanitamu nan lain, tapi momongan itu baik Yogi. Papa yakin dia dapat bahagia bersamanya,” introduksi rudin bersedih.

***

Lilin lebah setelah acara ijab kabul, Yogi memboyong sederum Latifa ke rumahnya, sekitar 4 jam perjalanan dari rumah cucu adam tua Yogi. Pikir Yogi, jika engkau tetap di rumah orangtuanya maka akan kian terik bagi Yogi jika kedua orangtuanya memaksa programa wulan madu mereka. Sepanjang penjelajahan Yogi tidak sebabat sekali mengajak bicara Latifa. Bahkan Yogi merasa sangat sebal dengan Latifa. Sama sekali Yogi mengambal perempuan di sampingnya itu dengan pandangan sinis dan enggan.

‘Kampungan banget sih pendirian berpakaian nih dara, hmm dapat mewujudkan aku malu, namanya Latifa, norak banget, kampungan!’ Yogi tak berhenti mengumpat dalam hati. Latifa yang memakai baju panjang denga atasan gamis, serta rambut dikuncir satu, tanpa mengaryakan hiasan apapun, membuat Yogi enggak suka. Yogi sesungguhnya lelaki yang baik hanya karena ia anak asuh terakhir dan keluarganya terlazim menuruti apapun permintaannya, menjadikannya abnormal manja.

“Kita sudah setakat, ini rumahku, Latifa.” Yogi tekor ber basa-basi.

“Ifa, panggil saja Ifa,” ujar Latifa.

“Ya. Masuklah,” ajak Yogi. Melihat persiapan Ifa nan lamban membuat Yogi gregetan, “Ayolah cepat rendah, aku tak enak kalau ada tetangga nan menyibuk,” kata Yogi lagi. Ifa kembali berusaha cepat tapi karena tiga barang bawaannya memadai rumit membuat langkahnya melambat. Ifa masuk ke rumah dinas suaminya itu bagi pertama kalinya. Yogi tinggal di sebuah rumah dinas di sebuah asrama tentara. Yogi merupakan seorang tentara berpangkat Sertu. “Ini kamarmu Ifa. Aku harap dia enggak keseleo reaktif dengan pernikahan ini, dengan menyetujui keputusan orangtuaku cak bagi menikahimu bukan bermanfaat aku semupakat untuk hidup denganmu,” sebut Yogi ketus.

“Iya aku mengarifi Mas.” Ifa mendesah, mengerti posisinya. Kemudian masuk ke sebuah kamar berukuran kecil di sebelah kamar Yogi, ia menurunkan komoditas-barangnya di kamar berformat 3×3 itu.

“Jadinya aku asian tempat terlampau,” ucap Ifa senang. Terdengar Yogi bersumber kamar jihat menengah menelpon seseorang. “Aku sempat ini perjodohan nan terpaksa. Aku sadar diri dengan peristiwa ini. Tak apa, aku harus bertahan sampai tiba waktunya.” Ifa menyaringkan dirinya memulai sesuatu yang hijau dalam hidupnya. Sebenarnya Ifa pun terpaksa kepingin menerima perjodohan dari ibu bapak Yogi, sepeninggalan ibunya, Ifa makara tak memiliki rumah tinggal, karena apartemen medan ia dulu lampau juga sebuah rumah kantor. Ketika ayah Ifa meninggal, sebenarnya keluarganya lagi tahu akan di usir dari apartemen itu namun karena belas kasihan, maka Ifa dan ibunya juga diperbolehkan temporer tinggal di rumah itu. Kini sepeninggalan ibunya, Ifa keruh akan dulu dimana lagi, kemudian orangtua Yogi pun datang membahas tentang akad nikah, Ifa berpikir dalam-dalam takdirnya ia menerima pernikahan itu, beliau akan bisa kondominium lewat dan ia bisa melanjutkan kuliahnya yang doang tinggal bilang rembulan sekali lagi sebelum ia lulus kuliah. Lagipula Ifa adv pernah bahwa Yogi sangat menentang pernikahan itu, Ifa merasa itu suatu kebetulan karena jika ia lalu bersama Yogi, Yogi nan tidak menyukai keberadaannya lain mungkin menyentuhnya, sehingga kamu boleh antap suntuk di rumah Yogi itu sampai waktunya ia lulus syarah dan akan berangkat hidup mandiri.

***

Tok. Tok. Tok.

Latifa mengetuk pintu kamar Yogi.

“Ya. Cak semau apa?” jawab Yogi bermula intern kamar.

“Bangun Mas, sudah pagi. Mas Yogi nggak maktab?” Cak bertanya Ifa.

Yogi keluar dari kamarnya. “Kamu tidak usah mengurus urusanku, aku berangkat biro atau tidak, bukan urusanmu,” kata Yogi dengan musik ketus. Pemuda berkulit sawo itu lantas berputih ke arah kamar mandi. Setelah Yogi keluar dari kamar mandi, ia melirik heran di atas bidang datar makan sudah tersedia makan pagi untuknya.

“Ifa, kamu tak usah menyiapkan apa-segala apa, aku tak biasa sarapan pagi.”

“Sarapan pagi bagus Mas sebelum memuali aktivitas pagi sampai siang.” Ifa berusaha menerangkan, namun sayang, Yogi malah semakin menjadi marah.

“Kubilang enggak ya tidak!” Bentak Yogi.

Ifa tungkap, terbatas mendesah kesal sekadar masih dalam garis ketenangan, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat, Ifa keluar keluar dengan selembar daluang dan sebuah pulpen.

“Aku ingin kita bicara selintas Mas.” Congor Ifa sedikit menekan.

“Aku lain ada masa!” balas Yogi acuh.

“Aku tahu Mas Yogi tak menghendaki ijab kabul ini dan kehadiranku, aku tahu itu semua.” Ifa menerimakan lembaran daluang dan pulpen kepada Yogi, “ Ini…”

“Apa maksudnya ini?” Tanya Yogi.

“Ini pertinggal perjanjian pernikahan dan perpecahan kita.” Introduksi-kata Ifa semakin tegas, nada bicaranya sekali lagi tak gentar. Yogi tampak gagap.

“Mas Yogi enggak usah khawatir, 6 bulan pun aku menguap berpokok kuliahku, saat itu aku bersedia Mas Yogi menceraikan aku. Ada apapun alasan perceraian itu, aku akan menyetujuinya.” Ifa bonafide lawan bicaranya.

“Kamu pikir dengan seperti itu kelainan ini akan selesai? Habis bagaimana dengan orangtuaku? Mereka lewat berpretensi dengan ijab nikah ini. Jika aku menceraikanmu tanpa alasan yang jelas tentunya orangtuaku akan murka besar padaku,” ujar Yogi.

Ifa meruntun kepala dingin, guratan bibirnya mengatub sesaat, “Baiklah, saat parak itu, tuduhlah takdirnya aku yang sudah lalu berselingkuh, sehingga orangtua Mas Yogi pasti akan menyetujui perceraikan itu.”

Yogi pun tampak berpikir, bola matanya mengisyaratannya.

“Mas Yogi tak usah kliyengan. Aku tak akan meminta se-sen pula dari gajimu, aku enggak akan menggapil urusan pribadimu, aku tetapi numpang jiwa disini sampai saat itu tiba, Mas Yogi tak perlu menganggap aku ayutayutan. Mungkin, takdirnya Mas Yogi bersedia, anggaplah aku seorang… teman.” Ifa meletuskan senyum persahabatan di wajahnya.

“Baiklah aku setuju dengan perjanjian ini.” Yogi menandatangani lembar kertas nan sebelumnya sudah di tandatangani Ifa.

“Ya. Aku sangat berlega hati padamu Mas. Misal balasan atas kekuatan hatimu menerimaku di rumah ini, aku akan tetap mengamalkan karier flat dan menyiapkan makan,” ucap Ifa sebelum sira mencuil jeluang perjanjian itu dan timbrung ke kamarnya.

Di kerumahtanggaan kamar yang kecil itu, yang cuma terdapat sebuah kasur dan lemari, Latifa bersandar lega tembok dan menangis sedih, batinnya meringis pilu. “Ayah… kenapa ayah pergi secepat ini, sepanjang ini aku dan ibu nyawa menderita…” ucapnya sekalian menghapus air matanya. Terasa kosong hidup tanpa kedua turunan tuanya, ia harus berjuang seorang demi kelangsungan hidupnya. “Ibu… Ibu juga meninggalkanku, aku merasa seperti sesuatu yang lain berfaedah di sini, tak terserah yang besar perut Ifa lagi. Ifa ribang ibu.” Latifa terisak duduk berdasar, semua terasa hambar dan membekukan keberadaannya. Tangisan Ifa tak berlangsung lama, kamu menghela nafas tingkatan kerjakan membuang semua asanya dan menghapus air matanya. “Aku tak boleh begini. Aku harus kuat, harus bisa menjadi pribadi yang bau kencur. Aku harus berusaha menjadi seorang imbangan yang baik untuk Mas Yogi.” Ifa memotivasi dirinya sendiri, dengan menggetah rayon pertemanan nan baik, setidaknya boleh memudahkannya melangkahi hari yang asing di rumah Yogi.

Selingkung jam setengah tiga, Yogi pulang dinas. Karena lokasi kantornya bukan jauh letaknya dari asrama tinggalnya, Yogi pun mengidas bepergian kaki bersama Dani, teman karibnya, apalagi mereka setara-setara satu litting.

“Gi, katanya kemarin kamu nikah, mengapa nggak ngundang-ngundang?” Tanya Dani.

“Ah, itu hanya program keluarga hanya cak kenapa Dan, cuma akad nikah.” Yogi nampak enggan membincangkan.

“Lewat mana istrimu sekarang?” Soal Dani.

“Ya sekarang tinggal selevel aku,” jawab Yogi.

“Sepertinya kamu tidak senang dengan pernikahanmu itu, Gi?” Dani dapat membaca berbunga sikap dan kaidah wicara sahabatnya itu.

“Iyalah Dan, kan kamu tahu sendiri, aku masih pacaran dengan Renita. Lagipula aku dan Latifa, hmm… Ifa kan hanya dijodohkan, lain lama juga aku akan berpisah dengannya,” ujar Yogi enteng.

“Cak kenapa gitu Gi? gampang banget sih kamu main ceraikan anak individu, emang kenapa anda tak menyukai istrimu itu?” Dani menatap heran sahabatnya.

“Ya, entahlah aku enggak gemar, gayanya jadul banget, nggak seia ama seleraku.”

Dani menepuk bahu Yogi, ”Ah, semprul beliau Gi, padahal Renita menurutku kriteria-barometer aja. Cuman karena ia memiliki bulu pangkat harfiah itupun hasil olahan salon, ya emang sih Renita itu modis.”

“Sembarangan aja kamu nilai cewekku, Dan. Kalau aku membebaskan Renita waktu ini, prestise lah. Silam aja aku sanding berantem sebanding si Haris gara-gara memperebutkan Renita.”

Baca :   Beda Bunga Raflesia Dan Bunga Bangkai

“Hahaa, dia kayak anak ABG aja Gi. Inget semangat dong!” ledek Dani.

“Oh, ya, Dan, tapi ini muslihat ya… ” Yogi memelankan musik suaranya.

“Apaan?” Dani start penasaran.

“Hmm, sebenarnya… pernikahanku hanya 6 rembulan sekadar,” kisik Yogi.

“Maksudnya gimana Gi?” Dani setengah mendelik memahami kata-kata Yogi.

“Aku dan Ifa telah sepakat dalam sebuah perjanjian ijab kabul hitam diatas putih, setelah 6 bulan pernikahan kami membelakangkan akan bercerai,” bisik Yogi sekali lagi.

“Gila dia Gi, ikatan kok dibuat permainan.” Dani menggeleng mematamatai tingkah Yogi. Enggak berapa lama Yogi dan Dani pun sampai di depan rumah Yogi. “Gi tuh kok cak semau cewek di depan rumah kamu? cewek nan mana lagi tuh. Gila, yunior kali ini liat upik mulus banget, cakap banget.” Dani berdecak kagum. Yogi juga heran, Yogi dan Dani terusik rasa penasarannya untuk mengawasi bertambah dekat ke arah pemudi yang tegak di depan apartemen Yogi itu. Gadis berbulu sebahu, pakai gaun jeans pendek, kemeja fit body dan Wedges High Heels. Gadis yang menjadi ingatan itu membalikkan raga dan membuat Yogi serta Dani terkejut.

“Eh, Mas Yogi sudah pulang,” ujar perempuan itu yang tak tidak yaitu Latifa.

“Ifa?” Yogi heran melihat basyar Ifa yang berbeda.

“Gi, itu istrimu? Gila cantik banget, kok engkau bisa bilang gaya beliau jadul? modis gini kok di bilang jadul, ni sih artis asia. Aku heran sama seleramu Gi,” bisik Dani.

“Iya Mas, ini Ifa kalut kepingin nitipin kunci rumah sama siapa, soalnya Ifa kepingin menjauhi dulu Mas. Suka-suka kuliah praktek sore.” Ifa mencoket kunci dari saku rok jeans ringkasnya. “Kebetulan Mas Yogi sudah pulang, ini kunci rumahnya ya Mas.” Ifa menyerahkan ki akal kondominium pada Yogi.

“Hai Ifa, salam kenal ya. Aku Dani lawan satu litting Yogi. Anda istrinya Yogi ya?” Dani memudahkan persuasi basa-basinya.

“Iya Mas Dani, salam kenal ya. Latifa. Oh, ya, Ifa adeknya Mas Yogi mengapa,” kelakar Ifa sembari tersenyum. Dani pun tertawa mendengar candaan gadis berhidung mancung di hadapannya.

“Ok deh, Ifa berangkat syarah terlampau ya Mas Dani, Mas Yogi..bye-bye…” Ifa berlalu sambil melambaikan tangan dan tersenyum riang. Yogi tak adv pernah bersabda apa-segala, bisa di beberapa ia mematung melihat sisi tidak dari cem-ceman yang di nikahinya secara terdesak.

Latifa menghentikan langkahnya, ia berbalik, “Oh, ya, Mas Yogi, Ifa pulang jam setengah 7 lilin batik ya, lauknya di panasin jangan sampai basi lho,” teriak Latifa yang telah berjalan layak jauh. Ifa berusaha mengekspos lembaran persahabatan dengan Yogi, seharusnya selama 6 wulan kedepan mereka lain saling ada beban karena hidup se-atap. Itu sebabnya Latifa berusaha lakukan makin sanding dengan Yogi.

“Gi, sekiranya kamu sudah seremonial bercerai beritahu aku ya, hahahaa,” pembukaan Dani sembari berjalan meninggalkan bikin pulang ke rumahnya.

“Kutu Kupret dia Dan, hahaa,” balas Yogi tertawa.

***

Tepat palu 18.30 Latifa tiba di apartemen.

“Assalamu Alaikum,” teriak Latifa, kemudian masuk ke n domestik rumah.

“Waalaikumsalam,” jawab Yogi dan Dani secara bersamaan.

“Malam Dek Ifa,” Teguran Dani sok cute.

“Dek???” Yogi membeo mulut Dani, Yogi terkekeh karena Dani memanggil Ifa ‘Dek Ifa’. “Ah kamu Dan, sok sanding sira!” Ejek Yogi.

“Lho Mas Dani terserah disini rupanya,” ucap Latifa palamarta.

“Iya Dek Ifa, kebetulan TV di rumah rusak, jadi mau ikutan nonton TV disini, hehee.”

Yogi menyenggol Dani, “Ah, alasan aja dia, Dan,” ejek Yogi lagi.

Ifa tertawa, “Mas Dani ini orangnya lucu.”

Dani cengengesan sambil mencabau-garuk rambut di kepalanya.

“Yaudah Mas Dani, dilanjut deh nonton TV-nya, Ifa cak hendak ke kamar dulu,” pamit Ifa.

“Oh, ya, Mas Yogi sudah makan?” Latifa menghentikan langkahnya sesaat. Kamu menganjal.

“Iya sudah,” jawab Yogi canggung, Ifa mesem lalu masuk kamarnya.

Tidak berapa lama Ifa juga keluar dari kamarnya menuju kamar bersiram, sekitar 15 menit Ifa keluar dari kamarnya dengan bulu yang basah lalu timbrung sekali lagi ke kamarnya. Kemudian Ifa kembali keluar dari kamarnya dengan mengaryakan serawal jeans pendek dan t-shirt berlengan pendek sambil mengangkut Laptop. Sira memangkalkan Laptopnya di atas bidang datar makan dan duduk sambil memainkan Laptop itu. Ifa mengalir perlahan-lahan berbunga bekas duduknya dan masuk sekali lagi ke dalam kamar membawa sebuah rahasia.

Dani menyikut lengan Yogi, “Gi, kamu nggak pening lihat kuntum cakap wara wiri di rumahmu?” Bisik Dani.

“Ah, kamu berisik, yuk maen PS aja Dan,” Yogi mengalihkan pembicaraan.

“Dasar beliau Gi. Oh, ya, Gi, kok tadi siang ia beberapa Ifa dandanannya jadul? Sira nggak sedang sakit mata kan Gi?” Bisik Dani lagi.

“Kemarin itu emang dandanannya jadul banget mengapa Dan, ala orang desa. Pakai rok kain tahapan, atasannya lagi. Aku juga nggak senggang.” Yogi mencekit stik PS sambil menekan pentol select.

“Mungkin layak kemarin itu Ifa belaka cak hendak berpenampilan sopan di depan orangtuamu doang kali Gi.”

Yogi mengangkat bahu. “Tau ah gelap,” timpal Yogi cuek.

Secara tiba-berangkat, Ifa dari arah belakang mengemplang pundak Yogi dan Dani. “Hayoooo lagi ngomongin apa nih bisik-bisik.” Suara Ifa mengagetkan keduanya, Yogi dan Dani kontan terhentak.

“Astagfirullah. Dek Ifa bikin terperangah saja,” kata Dani sewaktu mengelus dada.

Latifa terkekeh, “Lagi ngomongin barang apa sih Mas, kayaknya benar-benar banget.”

“Nggak ada apa-segala kok dek,” ujar Dani sipu.

Alunan nada dering ponsel Yogi berbunyi. Latifa mencerling, “Mas Yogi, tuh HP-nya obstulen, pasti dari yayang nih, hehee,” ledek Ifa.

“Ah, hmm, ya Fa,” jawab Yogi kaku, sebelum ia menghadap kamarnya bikin menggotong telepon yang memang bermula Renita, kekasih Yogi.

“Dek Ifa sudah tahu Yogi punya tabo?” Tanya Dani lopak-lapik.

“Ooo, iyalah Mas, Ifa udah tahu cak kenapa.” Latifa tersenyum menjemukan.

“Lalu… nggak cak semau persaan segala apa-apa gitu?” selidik Dani kembali.

“Perhatian apa Mas? Ifa selaras Mas Yogi itu perasaannya seperti saudara aja,” ucap Ifa sembari tersenyum.

“Kok aneh, aku bintang sartan bingung.” Dani mengerutkan dahinya.

Latifa tersenyum gempal, “Mas Dani nggak usah bingung. Ini, Mas Dani lagi main PS kan? marilah tanding saingan Ifa, maen bola ya.”

“Lho Dek Ifa bisa maen PS? ayo siapa takut. Mas Dani Juventus ya,” ujar Dani bersemangat, kemudian memberi stik PS satunya ke Ifa.

“Ifa pastinya… Barca!!” Teriak Ifa senang. Mereka berdua pun asik lomba PS.

Yogi melihat berasal mengsol pintu kamarnya, Ifa dan Dani tertawa-gelak sambil maen PS. Yogi jadi resah dengan khuluk Ifa. Seperti apa kamu sepantasnya Ifa, pikir Yogi.

Selingkung jam 9 malam Dani baru pulang pecah apartemen Yogi. Ifa melanjutkan memainkan Laptopnya. Temporer Yogi medium menonton TV sedarun sekali kali SMS-an dengan Renita. Dan adakalanya juga Yogi mengambal Ifa yang serius menatap layar laptopnya.

“Ternyata Ifa anak adam yang baik, apakah kemarin aku keterlaluan,” pikir Yogi. Yogi berjalan ke sisi meja makan dan duduk di depan Ifa.

“Sibuk apa Fa?” Cak bertanya Yogi.

“Oh, ini Mas. Ifa sibuk catetin antaran,” jawab Ifa bertepatan konsisten fokus pada cucur monitor laptopnya.

“Pesanan?”

Ifa mengangguk, “Iya Mas, Ifa dah lama marketing tas branded dan sepatu-sepatu korea, tapi Ifa pasarin online. Lumayan buat nambah-nambah uang ceramah Mas,” pembukaan Ifa sekali lalu mesem. Di musim ini fashion korea masih silam langka, itulah sebabnya bisnis Ifa sukses dipasarkan.

“Oh, gitu. Selama ini anda kuliah dari hasil dagang online itu ya?”

“Salah satunya, sebagian karena bea peserta. Tapi jika mengandalkan itu semata-mata tak cukup. Kalau pas weekend atau liburan semester Ifa kerja sampingan.”

“Hmm. Oh, iya, Ifa, aku minta magfirah ya atas keadaan semalam, barangkali aku mutakadim kelewatan.” Yogi tersenyum.

“Ah, nggak barang apa-segala Mas. Take easy aja kalau sama Ifa.” Ifa membalas hangat senyuman Yogi.

Yogi tertunduk sesaat lampau memandang Ifa dan berkata, “Hmm… Ifa, kita bisa mencoba beteman.” Ifa tersenyum lebar, suka karena Yogi telah bisa mengakui keberadaannya sebagai musuh.

***

Pagi masa Yogi tercacak, ia melirik jam weker di meja sisi tempat tidurnya. Beliau kemudian bangun dan keluar kamar. Rumah sepi. Yogi melangkah ke kamar bersiram. Matanya tertuju pada selembar kertas nan tertempel di gapura kulkas.

“Mas Yogi. Ifa ada kuliah pagi, sarapan mutakadim Ifa siapkan di meja makan, thank’s,” tulis Ifa di secarik kertas berwarna kuning.

Yogi melihat sepiring nasi rendang telur diatas bidang datar dan segelas buah dada coklat. Ia sedikit terkejut, “Kok kebetulan banget ya, beliau tahu aku suka susu coklat.” Yogi tersenyum heran lampau melangkah timbrung ke kamar mandi.

***

Sudah 3 jam Ifa menunggu di depan bab, teras depan rumah pun masih gelap. Ifa duduk dan bersandar di depan portal rumah yang terkunci itu. Karena Ifa enggak luang nomer HP Yogi, anda lagi berpendar harus menghubungi siapa, Ifa pasrah hanya menunggu di depan pintu.

“Nasib orang menumpang,” ujar Ifa trenyuh. Nyamuk mulai berlalu lalang di teras. Suara oto Yogi pula terdengar, Yogi lekas keluar terbit mobilnya.

“Maaf, engkau sudah menunggu dari tadi ya?” Yogi terburu-kejar menyingkapkan kunci pintu.

“Lumayan Mas,” balas Ifa, ia mendesah kesal.

“Iya sediakala aku cak hendak meletakkan muslihat ini dulu tapi karena tergopoh-gopoh aku makara lalai, soalnya tadi Renita telepon dan meminta aku menjemputnya,” ujar Yogi.

Tanpa menanggapi perkataan Yogi, Ifa lagi langsung masuk kondominium dan menumpu kamarnya. Ifa menggolekkan diri di kasur tanpa tempat tidur itu, lalu duduk dan mengecualikan sepatu high heels jenis platform itu.

Baca :   Baju Champion Asli Dan Palsu

“Aku cacat kesal karena terlalu lama menunggu, tapi yasudahlah. Aku mau tidur sebentar menghilangkan amarahku.”

Cukup lama Ifa terpicing, ia terbangun tepat jam 12 malam. Ifa bangun suntuk duduk di sisi gelanggang tidurnya. “Astaga… sudah jam segini, aku lupa masih terserah tugas buat praktek tubin.” Ifa bergegas bangun. Sesudah mengambil beberapa kancing, beliau kemudian melangkah berorientasi ira paruh. Ifa duduk di depan TV tanpa membangkitkan TV tersebut karena khawatir Yogi terbangun jika mendengar kebisingan. Ifa mengaji beberapa buku kuliahnya, sesekali ia mencatat.

“Cak kenapa lapar ya, hmm, nikmat nih kalau bikin mie godok,” kata Ifa. Ifa mengakhirkan memuaskan perutnya sebelum kembali melanjutkan mengerjakan tugas prakteknya, dia melangkah ke anglo dan berangkat memasak. Saking asiknya ia memasak, Ifa enggak sadar jika Yogi berpunya di belakangnya. “Ifa…” Panggil Yogi.

“Aaaaaaa, hantuuuu,” teriak Ifa tergemap.Yogi kemudian tertawa. “Ini aku,” kata Yogi.

“Ya ampun Mas Yogi sejak pron bila disini?” kata Ifa lega.

“Barusan kok, sira sedang segala apa?” Yogi melongokkan kepalanya, mencerling sepanci kerdil di atas kompor.

“ Ifa lapar Mas, ini cak bagi mie godok, Mas Yogi ingin?” Mansukh Ifa.

“Boleh deh,” balas Yogi. Ifa juga menyiagakan dua mangkok mie mendidik dahulu membawanya ke meja makan. Ifa dan Yogi menyantap mie godok itu, untuk pertama bisa jadi mereka berada di satu kenap makan secara bersama.

“Enak lagi.” Yogi menggelojoh mie artifisial Ifa. Ifa belaka tersenyum.

“Oh, ya, Ifa, aku minta maaf ya tadi. Hmm, kemudian hari aku gandakan ki akal apartemen,biar kita bawa masing-masing hanya.”

***

Pagi itu Ifa berangkat ceramah pasca- Yogi berangkat biro. Ifa mengunci portal rumah lalu menyelipkan pokok flat itu di bawah keset yang bertuliskan introduksi WELCOME, karena Yogi siang nanti akan menggandakan sosi. Ifa berjalan melangkah keluar rumah. Ifa tak pangling menyapa beberapa ibu-ibu yang ada di selingkung situ. Lewat berjalan ke sisi jalan raya menerobos lapangan.

Ifa menyerang kerapian pakaiannya, pagi itu Ifa tampak elegan dengan rok semi kemeja terusan hitam sampai di atas lutut dengan lawe pinggang kulit dan sepatu high heels model gladiator. Sebenarnya Ifa tidak insan nan boros dan wajib fashionable tapi karena ia sederum promosikan dagangannya yaitu sepatu dan pakaian korea makara engkau menggunakan seorang barang sample yang akan dijualnya sedarun sebagai promosi, karena konsumen Ifa sebagian besar adalah teman-tampin kampusnya koteng. Rambut Ifa kini pun di penyelenggaraan ala wanita korea untuk lebih menopang penampilannya.

***

Pagi itu pelan ramai, serumpun tentara yang sedang melakukan olahraga rutin buyar dari kritik instruksi sang pelatih. Cak semau yang menyedot perasaan mereka pagi itu.

“Ada barang apa sih rame-rame? cak kenapa memandangi jalan semua?” Tanya Yogi pada Dani. Dani pun melihat ke arah perkembangan.

“Oh itu Gi, mereka pada ngeliatin dara adv amat,” Dani kercing bikin bisa melihat lebih jelas segala yang menjadi korban perhatian teman-temannya.

“Resmi para bujangan lihat yang mulus dikit udah ngiler,” Yogi terkekeh.

“Lho Gi, itu kan Dek Ifa.” Angkat tangan Dani puas perawan nan madya jadi pusat perhatian antitesis-temannya itu. Yogi akhirnya menengok ke arah tunjukan Dani, dan ternyata benar dia Ifa.

“Dek Ifa!!” Teriak Dani sekuat tenaga hingga tenggorokannya dempet sangar. Dani melambaikan tangan. Ifa pun menoleh dan tersenyum membalas lambaian tangan Dani.

“Berangkat ceramah ya Dek?” Teriak Dani pula.

“Iya Mas..Bye…” Ifa membalas teriakan Dani sambil melambaikan tangan dan berlalu.

“Dani kamu kenal cewek tadi?” Tanya Rudi.

“Beliau Kenal Dan? tumben kamu kenal cewek elok, hahahaaa,” Ejek Edo bercanda.

“Semprul kamu Do!” Dani menokoh Edo pelan.

“Ah, jangan marah dong Dani, aku mau dong di kenalin ama perawan tadi,” Edo merajuk.

“Enggak-enggak, tidak papan bawah kalian,” ucap Dani silam pergi meninggalkan himpunan ngiler itu. Yogi sedari tadi hanya terdiam dan menatap kepergian Ifa. Ia menelisik barang apa yang menjadi sesuatu di privat bathinnya. Berburu jawaban keberadaan Ifa.

***

Malam menjelang menyingkir mentari yang sudah terendam. Ifa dan Yogi makan malam mengisi perut mereka yang sesungguhnya bukan serupa itu lapar, Dani pun menclok bertamu.

“Turut Mas Dani,” teriak Ifa.

“Eh, lagi sreg makan ya?” mata Dani berkililing diatas meja makan.

“Sini ikut bersantap Mas, Ifa ambilkan piring ya?” Ifa beranjak.

“Boleh Dek Ifa, kebetulan kompor di rumah lagi rusak jadi nggak bisa menguning dan belum makan, hehee” perkenalan awal Dani kegirangan.

“Kamu Dan, kamarin TV rusak, sekarang ketuhar busuk, besok sambil tempat tidurmu tembelang meski bisa tidur disini ketel?” cibir Yogi.

“Boleh Gi idemu, lusa aku tidur disini ya, diruang peziarah sekali lagi boleh, hehee,” Dani cengengesan.

“Ah tidak-bukan, kamu ini alasan aja. Terserah maunya,” tolak Yogi.

“Hehehe,” gelak Dani.

“Telah-sudah, yuk bersantap dulu Mas, ini piringnya,” Ifa menyodorkan piring ke Dani. Mereka bertiga pula makan bersama.

“Wah enak ya masakannya Dek Ifa,” kata Dani serampak mengambil beberapa lauk hingga piringnya munjung.

“Dan, beliau kira-kira dong, waktu semua di embat kembali!” Yogi menjegil.

“Hehehe, iya maap-maap.” Dani meledakkan roman melas, Ifa pun tersenyum mungil.

Setelah makan malam, Ifa membersihkan meja dan piring lalu masuk ke dalam kamarnya. Tentatif Yogi dan Dani sedang ngobrol di depan TV.

“Napa Gi? kayaknya wajah kamu suntuk banget.” Dani mematamatai Yogi yang sibuk SMS-an dan mencoba menerka-nerka dari paras Yogi.

“Ini Renita, tiap musim kerjanya ngambek mulu, Dan. Dikit-dikit ngambek, tadi aja kamu minta jemput tapi aku nggak dapat, eh kamu marah,” ratap Yogi.

“Ah, Renita lagi, Renita lagi, illfeel aku liat putri tipe gitu, ngambekan, nyenengin enggak, ngeselin iya. Emangnya pemuda itu supir antar jemput apa!” Sebut Dani sinis.

“Tau ah, oh, ya, Dan beliau besok siang ikut aku ya ke kampusnya Renita,” pinta Yogi.

“Ngapain? males ah!” dorong Dani tak berselera.

“Yah, please dong Dan. Temen Renita sang Niar tuh pasukan holic, engkau minta Renita nyomblangin oponen aku ama si Niar, temen Renita itu,” kata Yogi.

“Ogah ah, cewek jaman sekarang ni tahu aja ya tentara mau dapet remunerasi, ngejar-ngejar mulu!” Dani mendilak.

“Ayolah Dan, tolongin aku, kamu nggak nanggapin si Niar nggak apa-apa deh, setidaknya Renita luang kalau aku udah ada usaha ngajakin kamu,” pujuk Yogi sekali lagi.

Keesokan harinya…

“Gi, ni kampus kok rame banget ya?” Dani longak-longok di pelataran kampus sebuah Universitar Negri ternama.

“Iyalah Dan, namanya juga kampus, dulu aku kepengen kuliah tapi papaku suruh aku masuk tentara, huh!” Yogi teringat dan menjadi kesal.

“Ngomong-ngomong kamu janjian sama Renita dimana?” Pertanyaan Dani, kakinya terasa pegal lama kelamaan berdiri.

“Tuh di Cafe kampus, sebelah sana,” tunjuk Yogi. Mereka berdua pun melanglang mendekati Cafe bernuansa lazuardi itu. Seorang perempuan yang sedang duduk disalah satu meja melambaikan tangan ke jihat Yogi. “Terimalah itu si Renita, Gi.” Dani menggetah keberadaan kekasih Yogi. Yogi dan Dani pun melangkah ke meja tempat Renita.

“Kok jam segini plonco nyampe? lelet amat sih,” bentak Renita ke Yogi, wajahnya bersengut.

“Iya tadi macet dijalan,” Yogi sepiak kesal, ia baru saja sampai dan langsung asian jerkah.

“Oh, ya, ini Niar.” Renita mengenalkan temannya puas Yogi dan Dani.

“Yogi.”

“Dani.”

Yogi dan Dani pula duduk. Mereka berbincang-bincang ringan. Terpandang Niar menaruh hati lega Dani, tapi Dani hanya menanggapinya biasa. Niar tak hentinya berkisah bahwa om-nya, kakak-nya, sepupu-nya kembali sendiri tentara, Niar sangat mengagakan diri hingga membuat Dani tiba jenuh duduk berlalai-lalai di kursi itu.

“Ssst, Ren! Tuh para mahasiswi kedokteran datang,” bisik Niar ke Renita.

Renita menoleh dan mencermati beberapa mahasiswi kedokteran yang burung laut menjadi biji pelir labium di kampus mereka. “Oh itu ya yang anda ceritakan kemarin,” bisik Renita.

“Suka-suka apa memangnya dengan mahasiswi kedokteran Ren?” Tanya Dani penasaran.

“Oh, itu Lho Mas, ada 4 orang mahasiswi kedokteran yang popular di kampus ini, tak abnormal mahasiswi lain yang ngikutin style mereka,” pembukaan Renita.

“Tambahan pula yang bernama Latifa, anda paling oke dan keren style-nya dan menjadi buah bibir di kampus, body-nya bagus pun, hmm… kerjakan iri aja,” kata Niar kagum.

“Latifa??” jerit Yogi kaget.

“Iya, namanya Latifa,” ucap Niar menasdikkan.

“Yang mana sih?” Tanya Dani.

“Itu lho, yang di meja pojok sana,” tunjuk Niar sembunyi-umpet. “Itu kan itu ada 4 orang cewek tuh, nah yang namanya Latifa itu lho,” Niar menunjuk perempuan berpakaian tunas kemeja terusan berwarna hitam dipadu dengan jas dokter berwarna putih.

“Lho itu ketel D…” Tak sempat Dani meneruskan kata-katanya, Yogi sudah menginjak suku Dani, mengisyaratkan jangan bertutur apapun.

“Mereka itu beneran mahasiswi kedokteran?” Tanya Yogi rapat persaudaraan tak berkepastian.

“Iya Mas, waktu Niar bohong. Lihat aja mereka semua pakai jas tahir ala mantri-dokter gitu deh. Setahu Niar, mereka waktu ini sedang koas, denger-denger privat bilang rembulan ke depan, mereka sudah akan di sumpah dokter.”

Yogi dan Dani pun mencerling ke jihat Ifa yang medium duduk bersama teman-temannya. Baik Yogi maupun Dani terkejut karena selama ini anda hanya tahu bahwa Ifa pidato tapi lain pergaulan menanyakan ia mengambil fakultas apa. Yogi menelan ludah, merasakan nafasnya yang masih terkejut.

“Sebenarnya Latifa itu segenerasi kita usianya lho Ren,” ucap Niar dengan suara pelan.

Baca :   Cara Menghilangkan Mata Silinder Dan Minus

“Oh, ya, tapi kok dia sudah lalu koas ya, sececah pun bablas jadi dukun.”

“Iyalah, ketel Latifa dapat bea siswa karena IPK-nya tinggi.” Niar kembali memandang dayang yang sedang sira bahas bersama Renita.

Yogi melirik ke arah Ifa lagi, beliau tidak mengasa, Ifa yang awalnya kamu putusan sebagai wanita kampungan ternyata sehebat itu.

***

“Mas Yogi sudah lalu pulang?” Ifa menanyai Yogi nan bau kencur saja timbrung ke dalam rumah sore itu.

“Kamu pula sudah suka-suka di rumah Fa?” Yogi balas bertanya.

“Sudah dari tadi kok Mas, oh, ya, tadi aku lihat Mas Yogi di kampus.”

Yogi sontak terkejut, “Kamu lihat aku Fa?”

“Iya Mas, tapi maaf, Ifa nggak sapaan, takutnya goda,” introduksi Ifa mesem. “Oh, ya, itu pacar Mas Yogi ya? Cantik Mas.” Ifa meledakkan senyum lebar di wajahnya.

“Hmm, iya,” jawab Yogi singkat. “Ifa, kamu dokter ya?”

“Masih koas mengapa Mas.”

“Kenapa tak pernah cerita?” Tanya Yogi juga.

“Memangnya Mas Yogi pernah tanya?” Ifa melirik beberapa detik. Yogi terkejut. Kamu menyadari jika ia memang tak kawin mau tahu mengenai Ifa. Ifa melihat ekspresi Yogi yang berubah, Ifa pun tak tega. “Ifa semata-mata mencura Mas,” Ifa tersenyum kerjakan melegakan lever Yogi. “Jangan dianggap sungguh-sungguh ya.”

Yogi memaksakan senyumnya, ia masih tak enak lever lega Ifa. “Pembebasan ya Ifa.” Yogi merasa tulang-sumsum penopang tubuhnya sedikit menggigil dan loyo dan merasa perlu untuk bernaung, paling lain. “Aku cak hendak ke kamar dulu ya,” sebut Yogi akibatnya.

“Mas Yogi nggak sedap badan?” Tanya Ifa kliyengan.

“Nggak adv pernah Fa, pengarah rasanya pening dan berat,” ujar Yogi sekali lalu melangkah ke kamar dan hampir terjatuh. Ifa dengan sigap kondusif menopang jasad Yogi.

“Ifa tolong ke kamar ya Mas,” ujar Ifa prihatin, tinggal membantu Yogi berjalan. Ifa membantu Yogi berbaring, tinggal menyentuh dahi Yogi. “Duh, kok seksi banget ya, sebentar ya Mas.” pengenalan Ifa suntuk berjalan ke kamarnya mengejar obat penurun memberahikan, tapi sayangnya tidak cak bertemu. Ifa menjeput seteko penuh air suci dan beling kemudian ia gendong ke kamar Yogi.

“Mas Yogi harus banyak minum air steril ya, hmm, persediaan pengasosiasi Ifa kebetulan habis. Ifa beli terlampau di rumah obat ya Mas, hmm, fulanah, Ifa boleh pinjam kunci mobilnya,” ucap Ifa ragu.

“Beliau bisa nyetir oto Fa?” cak bertanya Yogi lemah.

“Iya Mas, bisa.”

“Itu, ambil sahaja di laci itu.” Ifa kembali membuka laci dan menjeput siasat mobil.

“Oh, ya, Mas Yogi hendaknya silih baju dulu. Pakai rok yang nyaman, semoga yang menyerap keringat dan bahannya tak terlalu rimbun.” Ifa memberi saran.

“Iya Fa, sambut kasih.”

Sebelum ter-hormat-benar melangkah pergi, Ifa berpikir sejenak. “Hmm, tentu Mas Yogi kesusahan bakal berdiri mencuil pakaian. Biar Ifa belaka nan siapkan baju Mas Yogi. Ifa mohon diri urai bufet-nya Mas Yogi ya,” kata Ifa, kemudian membuka lemari Yogi dan memilihkan pakaian yang menurutnya nyaman di pakai Yogi. Pakaian itu diletakkan di jihat tempat tidur.

Setelah Ifa menginjak ke apotik dengan mobil Yogi, teruna terdiam menyibuk pakaian yang di siapkan Ifa. Ifa betapa berlainan, kebaikan hatinyalah yang membuat Yogi terbawa. Sepanjang ini Ifa spirit mandiri, berbeda sekali dengan Renita, pikir Yogi.

***

Sekitar jam 2 malam Yogi terbangun dari tidurnya. Ia merasa badannya telah enakan setelah Ifa memberinya pemohon penurun semok dan antibiotik. Yogi berusaha duduk, ingin mengambil gelas yang berisi air putih. Doang Yogi terkejut melihat Ifa tidur dilantai dengan posisi duduk, tubuhnya bersandar ke tembok yang di sangga dengan bantal. Ifa terpejamkan serentak menjawat beberapa sosi kuliahnya.

“Ifa, bangunlah Fa,” panggil Yogi. Ifa terbangun, engkau menusap-usap matanya, setelah menguasai kesadarannya dari mimpi tidurnya, Ifa menoleh ke jihat Yogi dan tangannya langsung menjejak dahi Yogi.

“Mas Yogi telah baikan?” Tanya Ifa buncah.

“Iya, aku sudah tak apa-segala Fa, kamu tidur tetapi di kamarmu. Aku sungguh lain apa-segala apa, kamu lusa ada praktek pagi kan? sebaiknya anda istirahat saja, Fa.”

“Syukurlah kalau Mas Yogi telah baikan. Okey, Ifa mulai belakang hari praktek di RST, Mas, tempat Ifa praktek lokasinya lain jauh bermula sini.”

“Iya, istirahat saja Fa. Nanti kamu terlebih yang sakit.”

“Iya Mas.” Ifa memungut beberapa bukunya lalu melangkah keluar kamar Yogi. Enggak berapa lama Ifa timbrung juga mengapalkan segelas payudara coklat, dan mewujudkan Yogi keheranan. “Lho kenapa Fa?” tanya Yogi yang baru saja akan kembali menggeletakkan tubuhnya.

“Ifa nggak tega aja. Ini Ifa tinggalkan payudara coklat sama roti ya Mas, siapatahu Mas Yogi lapar.” Ifa meletakkan segelas susu coklat dan roti itu sebelum kembali ke privat kamarnya, namun saat Ifa sudah berada di hilir pintu, ia menoleh, “Kalau Mas Yogi titit apa-apa, panggil Ifa ya Mas.” Yogi Ifa yang melangkah lebih merenggang meninggalkan kamarnya kemudian mematamatai segelas tetek coklat nan di letakkan Ifa. Yogi menjeput beling itu, ia tersenyum dan sewaktu meminumnya sampai habis.

***

Keesokan harinya, Yogi ditemani Dani berobat ke RST (Rumah Sakit Tentara) yang enggak jauh berpokok penginapan mereka.

“Nomer antrian berapa aku, Dan?” Tanya Yogi.

“Nomer 41 Gi, masih lama. Ini mentah sampai nomer antrian 23,” tutur Dani sambil memerlihatkan plano antrian Yogi. Mereka berdua duduk di ruang tunggu depan poli masyarakat.

“Lama amat ya Dan, aku udah laper nih. Ke kedai minum habis aja silakan Dan,” ajak Yogi.

“Iya Gi, paling juga kamu masih lama di panggilnya,” Dani membandingbanding. Telepon seluler hak Yogi berdering.

“Sebentar ya Dan, aku terima teleponnya Renita dulu.” Sekitar 6 menit Yogi menelpon kemudian mengakhiri pembicaraan dan menyelimuti telepon. Wajah Yogi suntuk, Dani sudah dapat menebak apa yang terjadi.

“Suka-suka apa lagi sih Gi? Perasaan, dia ama Renita bertengkar mulu,” ujar Dani selepas Yogi radu menelpon.

“Iya Dan, Renita mohon di jemput ketika ini kembali.” Yogi menggandeng kekesalan di wajahnya.

“Lalu sira nggak bilang takdirnya kamu lagi ngilu dan sekarang lagi berobat?” Dani sewot.

“Udah Dan, tapi Renita bilang_ah paling cuman masuk angin stereotip.”

“Tuh cewek, turunan atau monster sih, manah tiap waktu kerjanya nggak jauh-jauh bermula dua pembukaan ini, sekiranya nggak marah ya ngambek, ah, aku deh yang rasanya pengen marah,” kata Dani kesal melihat sahabatnya di perlakukan seenaknya sama Renita.

“Kenapa nggak kamu putusin aja sih Gi?”

“Hmm, aku kasihan Dan.”

“Kasihan?? Kamu sebenarnya sering atau nggak sih?” Cak bertanya Dani.

“Entahlah Dan, seperti apa sih buruk perut itu? setahuku, jika aku suka setinggi cewek, aku tembak, jadian deh. Begitu ada masalah yaudah putus.”

“Yogi, Payah lu Gi, gegares itu ya enggak sama dengan itu. Sering itu, saat kamu bertemu saja ada desiran halus di relung hati terdalam, merasakan keberadaannya tetapi rasanya dag-dig-dug, apalagi ubah bertatapan indra penglihatan rasanya kamu ingin menyentuhnya tapi kamu lagi bisa keseleo tingkah dan sungkan momen menatap mata seseorang kamu cintai. Ah lelah kamu Gi!”

“Tau ah liar, aku telah laper. Ka kantin RST lalu silakan Dan,” jakal Yogi. Dua perjaka itu kembali melangkah ke arah kafetaria melangkahi bangsal anak asuh.

“Gi, itu sepertinya Dek Ifa?” angkat tangan Dani sreg seorang wanita bersarung jas tabib yang berjalan ke arah mereka.

“Iya, itu Ifa.” Yogi tidak berhenti menatap Ifa yang melanglang semakin mendekat ke arahnya. Anda merasakan degub jantungnya berdetak tak harmonis, ada apa ini, kenapa hatiku jadi…

“Dek Ifa keren banget ya pakai jas putih,” decak kagum Dani. “Gi, engkau tiap masa serumah dengan Dek Ifa, nggak cak semau perasaan apa-apa gitu?” Dani menengok ke Yogi nan mematung.

Yogi balas memandang Dani, “Hmm, terserah manah Dan, ya sebatas perasaan kakak dengan adiknya. Apalagi Ifa sebatang kara, aku merasakan sesuatu akan itu, tapi aku pikir itu pikiran seorang yunda. Aku bertekad sesudah aku dan Ifa berpisah, dia mendapatkan seseorang yang bertambah baik, Ifa itu momongan yang baik, Dan.”

“Kalau gitu, ikhlaskan kalau Ifa sama aku Gi, hahahaa,” canda Dani.

“Ah, ogah kalau ama kamu Dan, hahaa,” balas Yogi.

“Hei, Mas Yogi, Mas Dani. Udah dari tadi ya disini?” Tanya Ifa nan menghampiri mereka.

“Kembali nunggu antrian Dek,” ujar Dani.

“Kamu praktek disini ya Fa?” Tanya Yogi.

“Iya mas, Ifa di bangsal anak…,” Ifa mesem. Tak lama ada koteng ibu ke arah Ifa.

“Medikus, infus momongan saya apa sudah dapat di lepas?” Ibu bertubuh jangkung itu bertanya puas Ifa.

“Tunggu dokter Hery lalu ya Bu, tapi saya ingin lihat silam keadaannya ya. Soalnya dokter Hery sekali lagi di ruang kampanye,” jawab Ifa.

“Mas Yogi, Mas Dani, Ifa lampau dulu ya,” mohon diri Ifa kemudian pergi bersama ibu tadi ke bangsal anak. Lagi-pun Yogi menatap keberangkatan Ifa. Cerminan bekas kaki Ifa berhiaskan dipikiran Yogi, sinar matanya mengambang tengah asik intern batinnya saja Ifa mendadak melentur dan membuat Yogi terkejut.

“Mas Yogi, cepat sembuh ya!” teriak Ifa cak sambil mengacungkan jempolnya dan tersenyum yang menurut Yogi senyuman itu terlampau manis. Yogi terkesima. BERSAMBUNG

EDISI Hipotetis ada di buku Kisah Lembah Yunior 2

Pemesanan langsung ke:

Penerbit Harfeey Yogyakarta

ketik : judul buku_nama&alamat konseptual

sms ke : 081904162092

Cerita Yogi Dan Latifa

Source: http://bungarosaniaindah.blogspot.com/2014/12/kisah-lembah-hijau-2-hitam-diatas-putih.html

Check Also

Contoh Soal Perkalian Vektor

Contoh Soal Perkalian Vektor. Web log Koma – Setelah mempelajari beberapa operasi hitung pada vektor …